Wako Palembang Non Aktip Dituntut Sembilan Tahun, Istri Enam Tahun

Romi dan Masyito

Jakarta.Newshanter.com, Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton, dalam sidang tuntutan di d Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jl HR Rasuna Said, Jaksel, Kamis (12/2/2015).

Dituntut hukuman sembilan tahun penjara, denda Rp 400 juta subsidair 5 bulan kurungan. Sedangkan sang istri Masyito dituntut enam tahun penjara, denda Rp 300 juta subsidair 4 bulan kurungan. Keduanya diyakini terbukti menyuap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar melalui Muhtar Ependy.‎

“Menuntut supaya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan terdakwa Romi Herton dan Masyito telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” ujar Jaksa KPK Pulung Rinandoro membacakan surat tuntutan.

Jaksa meyakini Romi-Masyito memberikan duit suap Rp 14,145 miliar dan USD 316,700 ke Akil Mochtar selaku hakim konstitusi dan hakim panel yang menyidangkan perkara, melalui Muhtar Ependy. Tujuannya untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan hasil Pilkada Kota Palembang yang diajukan Romi Herton dan pasangannya Harno Joyo.

“Agar putusan membatalkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan Walikota/Wakil Walikota oleh KPU Palembang,” tegas Jaksa Tri Anggoro Mukti.

Menurut jaksa dalam pembacaan tuntutan, Suap ini memang berawal ketika pasangan Romi Herton-Harno Joyo yang kalah berdasarkan rekapitulasi suara KPU Kota Palembang, mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Konstitusi pada 16 April 2013. Permohonan perkara keberatan ditangani panel hakim konstitusi yakni Akil Mochtar, Maria Farida Indrati dan Anwar Usman.

Hasil perhitungan perolehan suara yang dilakukan KPU Kota Palembang saat itu menetapkan pasangan terpilih yakni Sarimuda-Nelly Rasdania dengan perolehan suara 316.923. Sedangkan Romi Herton-Harno Joyo memperoleh suara 316.915.

Agar permohonan keberatan hasil Pilkada Kota Palembang di MK dikabulkan, Romi Herton meminta tolong kepada Muhtar Ependy. “Selanjutnya Muhtar Ependy menyampaikan permintaan Romi Herton kepada Akil Mochtar,” papar jaksa

Permintaan ini disetujui Akil Mochtar dan meminta Muhtar Ependy untuk menyampaikan agar Romi Herton menyiapkan uang. Pada tanggal 13 Mei 2013, Romi Herton melalui Masyito menyerahkan uang Rp 11,395 miliar dan USD 316,700 kepada Akil Mochtar melalui Muhtar Ependy di BPD Kalbar Cabang Jakarta Jl Arteri Mangga Dua, Jakpus.

Jaksa menyebut sebagian duit suap yang diberikan merupakan pinjaman Romi Herton dari M Syarif alias Cek Mamad dengan menjaminkan SPBU milik Romi di Palembang.

Selanjutnya seluruh uang tersebut sebelum diserahkan kepada Akil Mochtar oleh Muhtar Ependy dititipkan kepada Iwan Sutaryadi. Pada tanggal 18 Mei 2013, Muhtar Ependy lantas menyerahkan uang sejumlah USD 316,700 kepada Akil Mochtar di Komplek Liga Mas Jalan Pancoran Indah III Pancoran Jaksel.

Sedangkan pada tanggal 20 Mei 2013 Muhtar Ependy menyuruh Iwan Sutaryadi mentransfer uang Rp 3,866 miliar kepada Akil Mochtar pada rekening giro atas nama CV Ratu Samagat di BNI Cabang Pontianak.

“Sedangkan sisa uang pemberian Romi Herton dan Masyito Rp 7,528 miliar disetorkan secara bertahap ke rekening atas nama Muhtar Ependy pada BPD Kalbar Cabang Jakarta,” sebut jaksa.

Selanjutnya Majelis Hakim MK yang diketuai Akil Mochtar memutus perkara permohonan keberatan Pilkada Kota Palembang pada tanggal 20 Mei 2013 sesuai dengan permohonan yang diajukan Romi Herton-Harno Joyo.

Dalam putusannya, MK menetapkan perolehan suara Kota Palembang dengan kemenangan Romi Herton-Harno Joyo dengan perolehan suara 316.919 suara unggul 23 suara dari pasangan nomor urut 3 yakni Sarimuda-Nelly Rasdania yang sebelumnya dinyatakan sebagai pemenang Pilkada berdasarkan rekapitulasi KPU Kota Palembang
Usai putusan kemenangan dibacakan, Romi-Masyito kembali menyerahkan uang secara bertahap ke Akil Mochtar melalui Muhtar Ependy. Duit dari Romi-Masyito diberikan dengan cara transfer ke rekening Muhtar Ependy dan istrinya Lia Tirtasari termasuk ke rekening perusahaan Muhtar, PT Promic Internasional. “Keseluruhannya berjumlah Rp 2,750 miliar,” sebut Jaksa.

Jaksa KPK juga menepis keterangan Masyito yang menyebut duit suap yang diberikan melalui Muhtar Ependy di kantor BPD Kalbar Cabang Jakarta hanya berjumlah Rp 7 miliar. Sebab para saksi yakni pegawai BPD Kalbar menyebut nominal duit yang berbeda berdasarkan penghitungan saat Muhtar menitipkan duit di bank tersebut.

“Kami berkeyakinan jumlah uang yang diberikan Romi Herton melalui Masyito ke Akil Mochtar melalui Muhtar Ependy berjumlah Rp 11,395 miliar dan USD 316,700,” sambung Jaksa Pulung.

Romi Herton dan Masyito dianggap melanggar pidana Pasal 6 ayat 1 huruf a 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.

Selain soal suap, Romi-Masyito diyakini terbukti memberi keterangan palsu terkait perkara bekas Ketua MK Akil Mochtar. Romi-Masyito memberikan keterangan palsu saat bersaksi dalam persidangan perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang untuk terdakwa Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor.

Menurut Jaksa, Romi-Masyito sebelum bersaksi untuk Akil Mochtar pada 27 Maret 2014 sudah diminta Muhtar Ependy untuk memberi keterangan palsu. Ada 3 keterangan palsu yang diberikan yakni tidak mengenal Muhtar, tidak pernah datang untuk menyerahkan sejumlah uang kepada Muhtar Ependy di BPD Kalbar pada Mei 2013 dan tidak pernah memesan atribut pilkada dan pelantikan Wali Kota terpilih yang diproduksi oleh PT Promic Internasional milik Muhtar Ependy. Padahal ketiga hal tersebut memang dilakukan Romi- Masyito.

“Atas permintaan Muhtar Ependy, terdakwa Romi Herton dan terdakwa Masyito bersepakat memberikan keterangan tidak benar sesuai permintaan dan arahan Muhtar Ependy dengan tujuan supaya para terdakwa tidak terjerat hukum perkara pemberian suap kepada Akil Mochtar,” ujar Jaksa Tri.

Perbuatan Romi Herton dan Masyito melanggar Pasal 22 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP..(DTC)

Pos terkait