Palembang, newshunter.com – Kasus dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan penelantaran yang menyeret nama Darmanto Effendi telah mencapai puncaknya di Pengadilan Negeri Palembang Kelas IA Khusus. Melalui sidang yang digelar pada Jumat (9/5/2025), hakim tunggal Romi Sinarta SH MH secara tegas mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Darmanto Effendi.
Keputusan ini sekaligus menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Darmanto Effendi oleh Satreskrim Polrestabes Palembang, tertuang dalam surat penetapan tersangka tertanggal 11 April 2025, adalah tidak sah menurut hukum.
“Mengadili, mengabulkan Pra Peradilan dari Pemohon Pra Peradilan. Menyatakan penetapan tersangka terhadap Pemohon Praperadilan sebagaimana tertuang dalam surat penetapan tersangka tanggal 11 April 2025 adalah tidak sah. Membebankan biaya perkara kepada Negara,” demikian bunyi amar putusan yang dibacakan dengan lantang oleh hakim tunggal Romi Sinarta SH MH di ruang sidang.
Suasana sidang yang dipenuhi dengan harapan dan ketegangan akhirnya mencair setelah putusan dibacakan. Aiptu Heru Pujo Handoko, perwakilan dari Bidang Hukum Polda Sumsel yang bertindak sebagai Termohon Praperadilan, memberikan tanggapannya seusai persidangan.
Aiptu Heru mengungkapkan bahwa dikabulkannya permohonan Praperadilan ini disebabkan oleh adanya ketidakjelasan mengenai tempus delicti atau waktu terjadinya tindak pidana penelantaran yang dilaporkan.
“Jadi putusan tadi sudah kita dengar bersama, bahwa pada pokoknya Permohonan dari Pemohon diterima atau dikabulkan. Atas putusan tersebut kami akan menindaklanjuti terhadap putusan hakim tunggal Pengadilan Negeri Palembang,” ujar Aiptu Heru dengan nada profesional.
Lebih lanjut, Aiptu Heru menjelaskan langkah-langkah yang akan ditempuh pihaknya pasca-putusan ini. “Setelah ini kami akan menyampaikan kepada pihak Termohon dalam hal ini Satreskrim Polrestabes Palembang untuk berkoordinasi mengenai langkah-langkah selanjutnya, apa mungkin akan melakukan gelar perkara lagi.
Karena di situ hakim berpendapat bahwa ada ketidakjelasan tempus kejadian penelantarannya, hanya di tahun 2022 saja tidak disebutkan kapan, apakah di bulan berapa,” paparnya.
Penjelasan ini mengindikasikan bahwa hakim dalam pertimbangannya menemukan adanya kelemahan dalam penetapan waktu kejadian penelantaran yang menjadi salah satu dasar penetapan tersangka.
Di sisi lain, Supendi SH MH, kuasa hukum Darmanto Effendi selaku Pemohon Praperadilan, menyambut baik putusan hakim. Dengan nada lega dan penuh harap, ia meminta pihak Termohon untuk segera menjalankan putusan pengadilan. “Pertama kami bersyukur permohonan kami dikabulkan oleh hakim tunggal Pra Peradilan. atas putusan tersebut kami meminta agar Termohon menjalankan putusan dan menghentikan atau SP3 karena penetapan tersangka klien kami sudah jelas dinyatakan tidak sah dalam putusan Pra Peradilan,” tegas Supendi.
Permintaan untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ini merupakan konsekuensi logis dari putusan yang menyatakan penetapan tersangka tidak sah.
Kasus ini bermula dari laporan dugaan KDRT dan penelantaran dalam rumah tangga yang dilayangkan kepada Darmanto Effendi. Berdasarkan laporan tersebut, Satreskrim Polrestabes Palembang kemudian menetapkan Darmanto Effendi sebagai tersangka.
Namun, Darmanto Effendi melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Palembang untuk menguji keabsahan penetapan tersangka tersebut.
Dalam proses Praperadilan, pemohon berhak untuk menguji apakah prosedur penetapan tersangka telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk apakah terdapat bukti permulaan yang cukup.
Salah satu aspek krusial yang menjadi sorotan dalam persidangan ini adalah kejelasan mengenai waktu terjadinya tindak pidana penelantaran.
Hakim tunggal Romi Sinarta SH MH dalam putusannya mengindikasikan bahwa ketidakjelasan tempus delicti menjadi salah satu alasan kuat untuk mengabulkan permohonan Praperadilan.
Putusan ini tentu menjadi angin segar bagi Darmanto Efendi dan tim kuasa hukumnya. Meskipun demikian, proses hukum dalam kasus ini kemungkinan belum akan berakhir sepenuhnya.
Pihak kepolisian, sebagaimana disampaikan oleh Aiptu Heru, akan melakukan koordinasi dan mempertimbangkan langkah-langkah selanjutnya, termasuk kemungkinan melakukan gelar perkara ulang untuk memperjelas aspek waktu kejadian penelantaran.
Putusan Praperadilan ini menjadi pengingat penting bagi aparat penegak hukum untuk selalu cermat dan teliti dalam proses penyidikan, termasuk dalam menetapkan waktu terjadinya suatu tindak pidana agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak terkait.(nan)