Gelombang Perlawanan Pajak: Dari Pati Menuju Nusantara, Menyambut 80 Tahun Kemerdekaan

Oleh Trisno Okonisator

Rakyat Pati telah memberi pelajaran penting: ketika pajak daerah berubah menjadi beban zolim, rakyat kecil tidak tinggal diam. Mereka bangkit, melawan, dan memaksa pemerintah daerah mengkaji ulang kebijakannya. Bukti bahwa suara rakyat lebih kuat daripada kursi kekuasaan.

Krisis fiskal di pusat memang nyata. Dana transfer macet, belanja daerah membengkak. Namun yang paling celaka adalah ketika kepala daerah mencari jalan pintas dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Beban itu jatuh pada petani, buruh, pedagang, hingga nelayan yang hidupnya sudah serba sulit.

Padahal, PBB semestinya menjadi instrumen keadilan sosial, bukan alat pemerasan. Kenaikan pajak tanpa melihat kemampuan membayar adalah bentuk kezaliman terang-terangan. Itulah wajah kekuasaan yang lebih mencintai angka-angka APBD daripada kesejahteraan rakyat.

Pajak sebagai Cermin Keadilan

Seorang ekonom senior, Faisal Basri, pernah mengingatkan: “Pajak itu bukan sekadar kewajiban, melainkan kontrak sosial. Kalau negara tidak memberi manfaat, wajar rakyat menggugat kewajiban itu.” Kalimat ini menohok. Pajak seharusnya menjadi gotong royong modern—bukan instrumen pemerasan yang mengorbankan rakyat kecil demi menutup lubang fiskal pemerintah.

Sejarah juga mengajarkan, pajak pernah jadi senjata kolonial untuk menindas pribumi. Politik pajak kolonial membuat rakyat sengsara, dari tanam paksa hingga pajak tanah yang memiskinkan petani Jawa abad ke-19. Kini, ironisnya, pola serupa muncul kembali dalam wajah baru: pajak daerah yang dinaikkan tanpa empati. Bedanya, jika dulu penjajah Belanda yang menindas, kini pejabat kita sendiri yang tega menjerat rakyat dengan kebijakan fiskal zolim.

DPRD: Stempel atau Pengawal Rakyat?

Di sinilah peran DPRD tak bisa dikecilkan. Kenaikan pajak bukan hanya keputusan eksekutif, melainkan juga restu legislatif. Jika DPRD hanya diam atau malah ikut mengamini, mereka sama saja berkhianat kepada rakyat. Tugas Dewan adalah menyambung suara rakyat, mengawasi anggaran, dan mengimbangi eksekutif—bukan menjadi stempel kebijakan yang menyakitkan rakyat.

Faktanya, fenomena ini bukan hanya terjadi di Pati. Data menunjukkan beberapa daerah menaikkan PBB secara ugal-ugalan: Banyuwangi naik 200 persen, Jombang dan Semarang 400 persen, Bone dan Malang 300 persen, bahkan Cirebon naik hingga 1.000 persen! Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan jeritan nyata petani yang kehilangan tanah, pedagang yang gulung tikar, hingga rakyat kecil yang terpaksa memilih antara membayar pajak atau makan hari itu.

Resonansi ke Sumsel

Perlawanan rakyat Pati adalah alarm keras bagi seluruh negeri: jangan bermain-main dengan perut rakyat. Gelombang ini berpotensi menjalar, bahkan hingga ke Sumatera Selatan. Di Ogan Komering Ilir (OKI),atau Ogan Ilir ( OI) misalnya, sebagian warga juga mengeluhkan beban pungutan dan pajak daerah yang semakin terasa. Jika pemerintah daerah tidak bijak, bukan mustahil api perlawanan akan menyala di desa-desa tepian Sungai Komering dan Ogan.

pemerhati kebijakan publik Sumsel Salim Kosim menegaskan: “Rakyat tidak anti-pajak. Tapi rakyat berhak menolak kebijakan pajak yang zolim. Kalau pemerintah memaksa, rakyat pun bisa melawan.” Suara seperti ini adalah gema dari Pati yang kini bergetar hingga ke Sumsel.

Momentum 80 Tahun Merdeka

Kini, pada 17 Agustus 2025, bangsa kita memperingati 80 tahun kemerdekaan. Pertanyaannya: apa arti merdeka jika rakyat masih terjajah oleh kebijakan fiskal yang zolim? Kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajah asing, tetapi juga bebas dari penindasan struktural oleh pemimpin sendiri.

Rakyat Pati telah menyalakan api perlawanan, mengingatkan kita pada semangat para pejuang 1945 yang menolak tunduk pada penjajah. Delapan puluh tahun merdeka, rakyat tak boleh lagi dijajah—bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh kebijakan zolim dan politik dinasti.

HUT RI ke-80 harus menjadi momentum untuk mengembalikan pajak pada hakikatnya: gotong royong demi kesejahteraan, bukan instrumen penindasan. Jika pejuang dulu rela berkorban demi kemerdekaan, maka hari ini rakyat pun siap berjuang demi keadilan sosial.

Merdeka dari penjajah sudah kita raih. Kini saatnya merdeka dari kebijakan zolim!

Pos terkait