Opini
EFEK DOMINO PUTUSAN HAKIM SARPIN
Oleh ; Erryl Putra Prima Agoes
Pada Senin 16 Februari 2015 dalam Sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan dengan hakim tunggal Sarpin Rizaldi diputuskan bahwa: penetapan Komjen BG sebagai tersangka oleh KPK, adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dari kacamata publik putusan tersebut cukup mengejutkan, karena dalam sidang praperadilan selama ini permohonan pemohon/tersangka pada umumnya ditolak ataupun tidak dikabulkan; sehingga proses hukum yang dilakukan oleh KPK terus berlanjut. Namun ternyata efek dari putusan itu, membawa rentetan pengaruh atau peristiwa ikutan yang hingga kini berlangsung sulit untuk dicegah karena juga menjadi salah satu hak tersangka yang diatur dalam pasal 77 KUHAP.
Efek dari putusan praperadilan dimaksud, diantaranya sebagai berikut:
1. Oleh kalangan publik putusan tersebut dianggap kontroversi; karena berimbas pada kinerja dan kepercayaan publik terhadap KPK yang selama ini selalu tepat, benar dan kuat dasar hukumnya dalam menetapkan tersangka.
2. Atas putusan tersebut, KPK kini tengah mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
3. Hakim Sapin saat ini tengah dalam proses pemeriksaan oleh Komisi Yudisial, karena di/terindikasi melanggar kode etik profesi hakim.
4. Suryadarma Ali (Mantan Menag) yang oleh KPK telah ditetapkan sebagai (tersangka) korupsi haji 2012 (belum ditahan) beberapa bulan lalu, kini telah mengajukan permohonan sidang praperadilan.
5. Begitu pula Fuad Azmin (Mantan Ketua DPRD/Bupati Bangkalan Jatim) yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK (telah ditahan dan hartanya disita) atas dugaan korupso pembelian gas; juga tengah mengajukan permohonan sidang praperadilan.
6. Sutan Batugana mantan Ketua Komisi VII DPR RI yang telah ditahan oleh KPK, juga sedang mengajukan sidang praperadilan.
7. Juga Mukti Ali, Wiraswasta dari Purwokerto Jateng; yang telah ditetapkan sebagai tersangka (tidak ditahan) kasus korupsi bantuan sapi betina; telah mengajukan permohonan praperadilan di PN Purwokerto.
8. Entah siapa lagi dan di PN mana lagi, permohonan serupa akan diajukan.
Walaupun telah ada/diatur lebih dari 22 tahun berlangsung; masa kini rasanya tidaklah keliru mengingatkan kembali apakah praperadilan itu? Di dalam pasal 9 angka 10 (dilanjutkan pasal 77-83) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP; ditentukan Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian aturan rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Menyimak keutuhan pasal tersebut tampak jelas bahwa, hal itu merupakan hak tersangka (keluarga atau kuasanya) jika merasa perlakuan/proses hukum atas dirinya tidak sah berdasar hukum; termasuk atau yang didahului penetapannya sebagai tersangka. Berdasarkan pasal 1 angka 14 KUHAP, Tersangka adalah seorang yang karena perbutannnya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Adapun maksud bukti permulaan ini haruslah menunjuk/didukung oleh alat bukti yang sah (pasal 184 KUHAP) yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa; yang sekurang-kurangnya (pasal 183) berjumlah dua alat bukti dari padanya.
Artinya dalam atau selama proses penyidikan inilah sebenarnya terletak ataupun mejadi bahan/dasar utama menentukan seseorang bisa dijadikkan tersangka ataukah tidak; sebelum nantinya dilanjutkan/ditingkatkan ke proses penyelidikan. Jika dalam proses penyidikan ditemukan/diperoleh secara sah sekurang kurangnya dua alat bukti, maka barulah orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Sebaliknya, jika alat buktinya kurang dari dua; atau cara memperolehnya alat bukti tidak sah; atau alat buktinya tidak mempunyai keterkaitan langsung ataupun justru bertentangan dengan undang-undang lainnya; atau alat buktinya cacat/lemah secara yuridis; maka segala macam temuan itu tidak bisa dijjadikan alat bukti sah/dasar menetapkan seseorang jadi tersangka.
Pada kasus Komjen BG dalam persidangan praperadilan yang terbuka untuk umum, bisa dilihat/diikuti secara live melalui media elektronik serta tersebar di berbagai media cetak, akhirnya diketahui bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK ternyata mengandung berbagai kejanggalan diantaranya:
1. Pada 2003-2006 posisi jabatan BG sebagai Kepala Biro SDM dan Pembinaan; bukanlah Eselon I, tidak sedang dalam penugasan penegakan hukum; sehingga bukan menjadi subyek hukum kewenangan KPK untuk menyara atau menyelidikinya.
2. Ketika pada 13 Januari 2015 mengumumkan penetapan tersangka dengan telah menemukan dua alat bukti; ternyata dalam sidang praperadilan itu KPK tidak bisa menunjukkan alat bukti temuannya dimaksud.
3. KPK menyampaikan mencurigai rekening BG pada tahun 2010; padahal aatas rekening tersebut pada 2010 Bareskrim Mabes Polri telah melakukan penyelidikan dan tertulis telah mengklarifikasi dan menyatakan rekening tersebut wajar.
4. Sprindik penetapan BG sebagai tersangka hanya ditandatangani oleh Asdan BW; padahal seharusnya ditandatangggani oleh 4 pimpinan KPK yang tersisa (satu orang BM, telah selesai masa tugasnya.)
5. KPK telah menetapkan BG sebagai tersangka; tetapi BG dan para saksi lainnnya merasa belum pernah dipanggil ataupun dimintai keterangan oleh KPK.
Beberapa kejanggalan serta keteledoran yang dilakukan oleh KPK tersebut, telah mengakibatkan:
1. Dikabulkannya permohonan pemohon/BG, sehingga putusan praperadilannya memutuskan bahwa penetapan yang dilakukan oleh KPK adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas kinerja KPK yang sebelumnya dianggap baik.
3. Putusan pra peradilan tersebut telah membawa efek domino yaitu, memicu ataupun menginspirasi munculnya banyak tersangka mengupayakan/menggunakan hak tersebut.
Meski permohonan sidang praperadilan itu merupakan salah satu hak perlindungan hukum atas diri tersangka, tetapi idealnya tidak boleh terjadi ataupun sangat sulit untuk dilakukan. Caranya ialah penyidik dalam melakukan proses penyidikan/penyelidikan haruslah dimuali dari kemampuan profesional, sungguh-sungguh berdasarkan alat sah dan relevan dilandasi sikap yuridis proporsional dalam menetapkan tersangka. Atau dengan kata lain, agar tidak ada celah bagi tersangka untuk menggunakan hak-nya tersebut; sehingga proses menuju ke persidangan menjadi akurat serta lancar tahapannya. Bahwa bagaimana nanti proses dan putusan pengadilan, maka hal itu sudah bukan lagi menjadi kewenangan penyidik berdasarkan undang-undang.
Akhirnya dikemukakan sekali lagi bahwa meski perangkat pra peradilan telah ada lebih dari 22 tahun dan tidak banyak digunakan oleh tersangka selama ini; namun dengan putusan Hakim Sarpin Rizaldi kemarin itu seolah telah menciptakan efek domino. Yakni menjadi contoh kembali, dan menginspirasi para tersangka untuk menggunakan hak-nya tersebut di berbagai tempat. Jadi, mari kita lihat bersama dinamika dari efek domino ini selanjutnya.