Palembang, newshunter.com – Kasus penipuan proyek fiktif yang melibatkan seorang oknum pegawai Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Muara Enim, Anzhari Eza Putra, akhirnya menemui titik terang. Dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Palembang pada Kamis (24/4/2025), majelis hakim yang diketuai oleh ldi lIl Amin SH MH menjatuhkan vonis pidana penjara selama 3 tahun 8 bulan kepada terdakwa.
Majelis hakim dalam amar putusannya menyatakan bahwa Anzhari Eza Putra terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Mengadili dan menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Anzhari Eza Putra oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun 8 bulan,” tegas Hakim Ketua saat membacakan putusan.
Menanggapi putusan tersebut, terdakwa melalui tim kuasa hukumnya menyatakan pikir-pikir, begitu pula dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Palembang, Satrio SH, yang sebelumnya menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun.
Kasus ini bermula pada awal Juni 2024, ketika terdakwa Anzhari Eza Putra, yang merupakan seorang pegawai di Dinas PU Muara Enim, menghubungi saksi korban, A Yudi Gautama. Terdakwa mengaku mendapat perintah dari Pj Bupati Muara Enim dan Kepala Dinas PU untuk menawarkan proyek pembangunan gedung Diklat Dinas BKPSDM Kabupaten Muara Enim kepada saksi. Pertemuan antara terdakwa dan saksi A Yudi Gautama beserta saksi Suprianto kemudian terjadi pada 8 Juni 2024 di Komplek PCC Transmart Palembang. Dalam pertemuan tersebut, terdakwa meyakinkan saksi A Yudi Gautama bahwa ada proyek pembangunan gedung Diklat dengan nilai anggaran fantastis, yakni Rp 25 miliar. Lebih lanjut, terdakwa mengaku sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek tersebut.
Untuk meyakinkan korban, terdakwa menanyakan kesediaan saksi A Yudi Gautama untuk mengerjakan proyek tersebut. Ketika saksi menunjukkan ketertarikannya, terdakwa meminta agar saksi segera mengirimkan uang sebesar 12% dari nilai proyek, atau senilai Rp 2,6 miliar. Uang tersebut, menurut terdakwa, adalah perintah dari Pj Bupati dan Kepala Dinas PU yang harus diserahkan melalui dirinya setelah dipotong pajak satu pintu. Terdakwa bahkan menjanjikan bahwa jika uang segera dikirim, proses lelang proyek akan dipercepat.
Mendengar permintaan uang dalam jumlah besar tersebut, saksi A Yudi Gautama terkejut. Namun, terdakwa mendesak dan meminta agar saksi mengirimkan sejumlah uang terlebih dahulu. Akhirnya, pada hari yang sama, saksi A Yudi Gautama mengirimkan uang sebesar Rp 250 juta ke rekening Bank Mandiri atas nama terdakwa. Keesokan harinya, Minggu 9 Juni 2024, saksi kembali mengirimkan uang dengan jumlah yang sama ke rekening terdakwa.
Tidak berhenti di situ, pada Selasa 11 Juni 2024, terdakwa kembali menghubungi saksi A Yudi Gautama untuk menanyakan sisa uang yang belum dibayarkan. Saksi kemudian meminta terdakwa untuk bertemu di kantornya di Jalan Wirajaya Lima Palembang. Tak lama kemudian, terdakwa tiba dan saksi A Yudi Gautama menyerahkan uang tunai sebesar Rp 2,1 miliar kepada terdakwa, yang kemudian dibuatkan surat perjanjian penitipan uang yang ditandatangani oleh keduanya.
Setelah menerima total uang sebesar Rp 2,6 miliar, terdakwa pergi ke Bank Mandiri di Jalan Jenderal Sudirman Palembang untuk menyetorkan uang tersebut ke rekening pribadinya. Sementara itu, saksi A Yudi Gautama menunggu kabar dari terdakwa terkait perkembangan proyek pembangunan gedung Diklat Dinas BKPSDM Kabupaten Muara Enim hingga bulan September 2024. Merasa curiga karena tidak ada kejelasan mengenai proyek yang dijanjikan, saksi A Yudi Gautama akhirnya melakukan pengecekan langsung.
Betapa terkejutnya ia ketika mendapati bahwa proyek tersebut ternyata sudah dikerjakan oleh perusahaan lain. Mengetahui dirinya menjadi korban penipuan, saksi A Yudi Gautama mencoba menghubungi terdakwa, namun terdakwa sulit dihubungi. Akhirnya, saksi melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian.
Akibat perbuatan terdakwa Anzhari Eza Putra, saksi korban A Yudi Gautama mengalami kerugian yang sangat besar, mencapai Rp 2,6 miliar. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim diharapkan dapat memberikan keadilan bagi korban dan menjadi pelajaran bagi pelaku tindak pidana lainnya, khususnya di lingkungan pemerintahan. Meskipun terdakwa dan JPU masih menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut, kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya kehati-hatian dalam bertransaksi dan potensi penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan banyak pihak.(Nan)