Masjid Asasi: Masjid Asal Padang Panjang

Masdjid Asasi Masjid Asal

Oleh SYAMSOEDARMAN

AZAN Shalat Ashar berkumandang dari menara masjid tua itu. Warga dan santri Thawalib Gunung bergegas menuju Masjid Asasi. Ini pemandangan rutin di Kelurahan Sigando, Padang Panjang. Dalam hitungan menit masjid sudah penuh. Shaf pun rapi di ruangan masjid yang memang tidaklah begitu luas. Ini bangunan yang sudah berusia berabad-abad dan termasuk cagar budaya.
Dalam keseharian nuansa islami terasa sangat kental. Padang Panjang berjulukan Serambi Mekah. Kaum wanitanya sehari-hari berpakaian muslimah. Mulai murid sekolah taman kanak-kanak hingga perempuan dewasa. Inilah salah satu ciri khas yang membedakan Padang Panjang dengan kota-kota lain di Sumatra Barat.
Tiap shalat lima waktu dan Shalat Jumat, Masjid Asasi seakan tidak lagi mampu menampung jemaah. Tapi untuk memugar atau merombak bangunan tidak mungkin. Apalagi mengubah bentuk. Ini adalah bangunan cagar budaya yang harus dipelihara dan dipertahankan keasliannya. Jangankan mengubah bentuk, merenovasi saja harus mendapat persetujuan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat, Riau dan Kepri.
Di masjid, selama shalat berlangsung tidak terdengar suara-suara berisik. Tenang dan nyaman. Shalat pun terasa lebih khusuk. Usai shalat ketika hendak meninggalkan masjid, tiap jemaah saling bersalaman. Rasa kekeluargaan sangat kental.
Berselang satu jam setelah Shalat Ashar puluhan santri Taman Pendidikan Alquran (TPA) mulai berdatangan dan langsung masuk ke ruangan yang terletak di bagian belakang masjid. Di TPA ini puluhan santri itu dididik sejumlah guru mengaji. Santri TPA menyebut guru mereka dengan ustad. Meski jumlah ustad dari tahun ke tahun berkurang tidaklah menyurutkan para orangtua menyerahkan anak mereka belajar Alquran. Belajar mengaji itu berlangsung menjelang masuk Shalat Maghrib.
Meski luas ruangan masjid relatif kecil dibandingkan masjid di tempat lain, namun tetap terpelihara dengan baik. Secara rutin penduduk Sigando bergotong royong membersihkan pekarangan dan memperbaiki bagian yang rusak. Sudah menjadi soko guru, untuk rumah ibadah dan bangunan kepentingan umum lain dipelihara dan dikerjakan secara bergotong royong. Tidak ada yang diupah. Berbeda dengan kehidupan di kota-kota besar yang lebih mengedapankan induvidu dan pekerjaan diimbali dengan upah.
Bagi pendatang, untuk mencapai lokasi masjid bisa menggunakan kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Dari pusat kota Padang Panjang ada trayek angkutan kota jenis mini bus yang siap melayani penumpang. Tarif angkot relatif sangat murah. Dengan mengeluarkan Rp3.000 Anda pun sudah sampai di tujuan.
Tak sulit menemukannya, Masjid Asasi hanya berjarak 500 meter dari ruas jalan raya Padang Panjang – Batusangkar. Setelah berbelok ke kiri di Simpang Ekor Lubuk. Tidak beberapa lama kemudian akan terlihat gerbang masjid yang bertuliskan Masjid Asasi, Nagari Gunung.
***
Masjid Asasi berusia 500 tahun lebih. Cerita masyarakat setempat, masjid mulai dibangun pada awal tahun 1400 Masehi di atas tanah seluas 27,5 x 25 meter persegi. Tanah wakaf dua pemuka masyarakat setempat, Imam Basa dan Khatib Kayo.

Versi lain menyebut masjid ini dibangun sekitar tahun 1770, namun seorang peneliti Belanda (tidak disebutkan namanya) menyebut masjid dibangun 1685 oleh masyarakat ampek jurai (empat daerah) dalam Kenagarian Gunung yakni Sigando, Ganting, Ekor Lubuk dan Ngalau. Masyarakat empat jurai itulah yang bergotong royong membangun masjid. Bangunan berukuran 13,5 x 11,5 meter. Semua bahan menggunakan kayu.

Cerita masyarakat, di penghujung abad ke-14, sekitar tahun 1380 M, datanglah ke Nagari Gunung empat pasang suami istri yang berasal dari Pariangan Padang Panjang, Tanah Datar. Waktu itu Nagari Gunung masih daerah yang tidak bertuan. Keempat pasang suami istri tersebut dipercaya merupakan nenek moyang masyarakat Nagari Gunung. Sesuai dengan jumlah pasangan membagi Nagari Gunung menjadi empat jurai (wilayah).
Bertahun-tahun kemudian empat jurai tersebut sudah bekmbang dan sepakat mendirikan sebuah masjid sebagai tempat beribadah, Dipilihlah sebuah lokasi di Sigando. Di sebuah lembah yang tak begitu dalam. Masjid tempat beribadah sekaligus tempat bermusyawarah membicarakan hal-hal yang menyangkut keagamaan dan mendalami isi Alquran.
Lama juga, lebih sepuluh tahun masjid itu baru selesai dibangun. Masyarakat Nagari Gunung sangat meyakini cerita yang didapat secara turun temurun bahwa kata Asasi yang dipakai berasal dari kata asa yang dalam bahasa Indonesia berarti asal (mula-mula).
Inilah tempat beribadah pertama dibangun dalam ukuran besar di Nagari Gunung. Karena besar oleh masyarakat di sebut juga sebagai surau gadang. Versi lain menyebut ini adalah masjid pertama yang dibangun di Minangkabau oleh karena itu diberinama Asa (i).
Dalam pengembangan pendidikan agama Islam Masjid Asasi pernah dijadikan sebagai basis pengembangan agama, yakni Madrasah Thawalib Gunung. Awalnya lembaga pendidikan tersebut berlokasi di sekitar masjid, namun kini sudah dipindahkan tidak jauh dari masjid . Ulama besar Minangkabau, seperti Buya Hamka pernah menggelar pengajian di masjid ini.
Bangun didirikan dalam tipe limas. Dulunya beratap ijuk. Masjid Asasi terbilang unik. Dinding luarnya dipenuhi ukiran Minang. Bentuk Masjid Asasi pun mirip rumah gadang. Di tengah ruangan masjid berdiri kokoh tiang utama berukuran besar berdiameter 1,5 meter setinggi 15 meter.
Sejak dibangun tiang utama itu belum pernah diganti. Cerita turun temurun masyarakat Nagari Gunung, tiang utama itu adalah kayu pilihan yang ditebang dari hutan Aie Putih dekat Lembah Anai. Versi lain menyebut kayu yang dipakai untuk membangun masjid ini adalah kayu Madang yang kerasnya melebihi kayu Tembesi. Tiang utama tersebut adalah sebatang pohon yang utuh, tidak ada disambung. Benar-benar pohon besar dan pilihan.
Membawa tiang besar itu ke lokasi masjid memakan waktu berbulan-bulan dengan hanya mengandalkan tenaga manusia. Hingga kini masih tetap misteri yang belum terpecahkan, bagaimana cara mendapatkan kayu sebesar itu dan tentu saja pada masa sekarang akan sulit ditemukan.

Di bagian mikrab masjid terdapat mimbar yang khas. Tidak sekadar mimbar berbentuk kotak tetapi jauh lebih elegan. Ketika khatib Shalat Jumat membaca khutbah dari atas mimbar itu, sang khatib tampak semakin berwibawa. Kekuatan arsitektur masjid tidak pernah diragukan, apalagi setelah terjadi dua kali gempa besar tahun 1927, dan 2007. Kedua gempabumi besar itu tidak membuat masjid rusak. Bergeming pun tidak dari posisinya.

Kekuatan bangunan masjid rupanya melebihi bangunan lain. Sejarah mencatat Padang Panjang pernah dihantam gempa besar yang meluluhlantakkan rumah penduduk dan menimbulkan korban jiwa. Namun gempa tidak merusak masjid.

Setelah bertahun-tahun, sesuai perkembangan zaman, atap ijuk masjid diganti dengan seng. Dicat merah tua. Serasi benar dengan ukiran dan hiasan yang mengitari bangunan. Ukiran yang ada di masjid ini seluruhnya diukir oleh perajin dari Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar. Ukiran anak negeri Pandai Sikek sudah terkenal, bahkan ke luar negeri sekalipun. Hingga kini bentuk bangunan masjid tetap dipertahankan sesuai aslinya.

Untuk keperluan berberwuduk air yang digunakan berasal dari mata air yang ada di sekitar masjid. Masyarakat menyebutnya bulaan. Airnya jernih. Di sekeliling mata air itu dibuatkan kulah (kolam) dan kemudian dialirkan melalui pipa. Dulu pancuran tempat tempat berudhu itu adalah bambu seukuran lengan orang dewasa.

Masyarakat sekitar menceritakan pada musim kemarau panjang sekalipun mata air tidak pernah kering. Ini adalah rahmat Tuhan kepada penduduk setempat. Air juga dialirkan ke kolam ikan penduduk di sekitar masjid. Dari kolam kemudian air dalirkan untuk keperluan pengairan persawan.

Sumber air bersih ini pernah ditawar pengusaha untuk sumber air kemasan yang dikomersilkan. Tawaran itu ditolak mentah-mentah. Masyarakat beralasan, mata air adalah rahmat Tuhan, digunakan untuk keperluan masjid dan kebutuhan penduduk. Muncul anggapan, jangan-jangan setelah nantinya dikomersilkan dan terjadi kemarau panjang mata air akan mongering dan masyarakat tidak menginkan hal itu terjadi.

Kedepan, karena Masjid Asasi adalah salah masjid tertua di Sumatra Barat dan menjadi salah satu objek wisata islami, perlu dipikirkan tersedianya catatan sejarah untuk banyak orang yang membutuhkan. Selama ini terasa sulit mencari data yang otentik. Di masyarakat Nagari Gunung sendiri ada beragam versi. Ini akibat belum adanya bahan tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan. (*)

Pos terkait