Sumatera Barat,Newshanter.Ketika jutaan anak Indonesia lainnya masih sibuk bermain boneka dan nonton televisi di rumahnya masing-masing, sangat bertolak belakang dengan keluarga Efriyanto (36), warga kelurahan Bulakan Balai Kandi, kecamatan Payakumbuh Barat yang sehari-hari bekerja sebagai buruh angkat.
Begitulah bertanda kerasnya kehidupan, mungkin sudah menjadi bagian dari kehidupan keluarga Efriyanto, karena nasib malang menimpa anaknya bernama Nayla (11) bulan. Anak ketiga dari tiga saudara ini terlahir tidak memiliki lubang anus atau lebih dikenal dengan nama atresia ani vestibuler.
Mereka tinggal di dipan kayu beralaskan plastik diatas tanah. Bila dingin tiba-tiba menyergap, mereka hanya berselimutkan sarung untuk menghangatkan tubuh mereka. Padahal lingkungan seperti ini dapat membahayakan kesehatan mereka sekeluarga.
Saat malam kian larut, ia mulai menidurkan anaknya. Dinginnya angin jalanan yang menelusup melalui celah papan rumahnya dilawan Efriyanto dengan memeluk erat istri dan anaknya yang lelap.
Rumah yang ditempati Efriyanto dan keluarganya hanya sebuah rumah dengan papan berukuran 5×6 meter saja. Hanya ada 2 kursi panjang dan satu meja kayu yang menjadi perabotan di rumah beralaskan tanah itu. Berbeda dengan rumah di sebelahnya yang berlantai keramik dan tembok.
Kondisi rumah Efriyanto lembab dan pengap. Meskipun hari sudah siang tetap saja hawa lembab terasa di rumah tersebut. Hal itu tentu saja tidak baik bagi pertumbuhan dan kesehatan anaknya yang menderita penyakit atresia ani vestibuler lubang anus di perut.
Mendengar adanya salah seorang warga kelurahan Bulakan Balai Kandi, menderita penyakit atresia ani vestibuler, membuat sontak salah seorang anggota DPRD Kota Payakumbuh daerah pemilihan (Dapil) Payakumbuh Barat, Wulan Denura, S.ST dan langsung membezuk anak tersebut dikedimannya baru-baru ini.
Ditengah keluarga Efriyanto, Wulan menyebutkan, agar ayah Nayla sabar menerima cobaan ini. Meskipun demikian, kita tidak boleh putus asa, Nayla harus kita bawa kerumah sakit untuk berobat hingga menjadi normal.
Yang jelas, kata Wulan sebagai warga kelurahan Bulakan Balai Kandi, kita harus menggalang dana untuk biaya operasinya. Untuk itu, kita minta kepada seluruh warga kota Payakumbuh untuk dapat kiranya mengulurkan tangannya untuk meringan beban yang diderita keluarga Efriyanto.
“Untuk pertama kalinya, Wulan langsung mengeluarkan dompetnya dan mengambil sejumlah uangn untuk membantu keluarga Efriyanto, agar dalam waktu cepat Nayla dapat dilakukan operasi yang ketiga kalinya oleh dokter. Setelah itu Wulan mengendong dan menyayanginya, seraya berdoa agar boncah cantik itu cepat dioperasi lagi dan cepat sembuh,”doa Wulan.
Menurut Efriyanto, mengatakan, penyakit yang diderita anaknya tersebut, merupakan penyakit bawaan sejak anaknya lahir. Hal itu diketahuinya sesaat setelah Nayla dilahirkan. Pada saat buang air waktu pertama lahir, keluar hanya sedikit seperti lidi besarnya di lubang anus anaknya.
Sementara bayi yang lahir biasanya Buang Air Besar (BAB)-nya menggumpal. Itu tidak normal kata perawat yang merawatnya. Sehingga terpaksa harus dirawat serta operasi lagi. “Mungkin dia merasa mulas, tapi karena lubang anusnya tertutup, makanya dia hanya menarik rambut dan menangis.
Setiap kali dia melihat Nayla, selalu menangis karena ingin BAB, saya merasa iba. Namun tidak bisa berbuat apa-apa, karena terbentur masalah biaya. Saat tetangga meminjami uang saya langsung membawanya ke rumah sakit untuk mengobatinya. Tapi kata dokter, dia harus dioperasi untuk membuatkan lubang anus yang lebih besar di perut. Hanya saja, saya tidak punya biaya, dan hanya mengandalkan BPJS.
Meskipun mengandalkan BPJS, kami masih terbentur dengan biaya BPJS, karena kami mendapat kartu BPJS mandiri yang membayar Rp60 ribu/bulan. Kini kartu BPJS ini akan ditukar dengan BPJS grartis, tetapi belum juga keluar hingga sekarang.
“Dia mengaku, untuk pengobatannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan untuk alat yang dimasukkan ke anus diperutnya berbentuk busi, dia dimintai Rp265 ribu/ 2bh. Setelah dioperasi Nayla selalu membutuhkan busi anus tersebut untuk BAB. Sampai sekarang, saya tidak punya uang, jangankan uang untuk biaya operasi, untuk makan sehari-hari saja tidak mencukupi, “tutur Efriyanto seraya meneteskan air mata.
Saya bekerja serabutan asal bisa mendapat uang, mulai dari bekerja di sawah tetangga, hingga menjadi kuli angkut dan bongkar muat barang. Saya tidak mengeluh meski harus mengangkut barang seberat 50kg dari truk ke kedai juragannya. Kadang dibayar uang Rp20.000 atau dikasih beras oleh juragan.
Kadang saya pun terpaksa berhutang bila tidak ada pekerjaan. Rasanya beruntung memiliki tetangga yang memahami kondisi keluarga saya. Bila tidak bekerja, kadang tetangga dan bibi yang meminjami uang dan memberi makanan.
“Meski miskin dan tidak mengecap pendidikan, saya bertanggung jawab pada istri dan anak-anak, karena keluarga adalah menjadi pilihan nomor satu dalam hidup, “ulasnya.(cr,zalpiliang)