Mantan Teller Supervisor BNI Diduga Korupsi Rp 5,2 Miliar, Sidang Ungkap Modus dan Kejanggalan

Palembang, newshunter.com – Kasus dugaan korupsi yang mengguncang Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Palembang memasuki babak baru. Terdakwa Weni Aryanti, mantan Teller Supervisor yang dituduh melakukan penggelapan dana hingga merugikan negara sebesar Rp 5,2 miliar, kembali menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Palembang pada Rabu (19/3/2025).

Sidang kali ini menghadirkan empat saksi kunci, yaitu Wina Eka Putri, Siti Amalya, Dwi Oktarina, dan Sheisa Nabila Devindra, yang merupakan rekan kerja terdakwa di BNI.

Sidang yang dipimpin oleh Hakim Sangkot Lumban Tobing SH MH ini mengungkap berbagai fakta mencengangkan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah modus operandi yang dilakukan terdakwa. Menurut keterangan saksi, Weni Aryanti diduga kuat menggunakan akun milik Sheisa Nabila Devindra untuk melakukan transaksi penyetoran uang tunai tanpa disertai fisik uang.

Hal ini terungkap dari kesaksian Sheisa yang mengaku bahwa terdakwa meminta akun dan kata sandinya dengan alasan agar Sheisa tidak pulang terlalu malam. “Saya tahu ada selisih sebesar Rp 5,2 miliar lebih pada 8 Mei 2024 malam hari.

Awalnya, Wina memberi tahu saya bahwa ada selisih kas yang disebabkan oleh terdakwa Weni Aryanti, sekitar Rp 4 miliar. Kemudian, setelah pengecekan lebih lanjut, jumlahnya bertambah menjadi Rp 5,2 miliar lebih,” ungkap Sheisa di hadapan majelis hakim.

Kejanggalan demi kejanggalan pun terungkap dalam persidangan. Saksi Wina Eka Putri, yang bertugas sebagai kasir, menyatakan bahwa sistem perbankan BNI memiliki mekanisme yang ketat. Setiap transaksi penyetoran harus melalui sistem “icon” yang hanya bisa diakses oleh teller yang bersangkutan.

Wina juga menegaskan bahwa terdakwa tidak memiliki akun “icon” untuk melakukan penyetoran. “Saya tidak kenal dengan 18 penyetor. Rina Aprilana saya tidak kenal. Pengganti Sementara (PGS) punya akun, akun terdakwa untuk otorisasi transaksi Teller bukan menerima atau menginput setoran hanya sebagai verifikasi, dengan kerugian yang dialami oleh BNI sebesar Rp 5,2 miliar, yang dirugikan adalah BNI, di fisik hanya ada Rp 900 juta selisih Rp 5,2 miliar, dan kejadian seperti ini tidak pernah terjadi,” terang Wina.

Saksi Dwi Oktarina menambahkan bahwa pada 8 Mei 2024, ia dan rekan-rekannya menemukan adanya selisih antara fisik uang dan data di sistem. Setelah dikonfirmasi, terdakwa Weni Aryanti hanya diam dan mengaku dihipnotis serta salah setor. “Saat saya tanya, terdakwa Weni Aryanti hanya diam dan mengaku dihipnotis dan salah setor.” ujar Dwi. Lebih lanjut, Dwi menjelaskan bahwa total selisih yang ditemukan mencapai Rp 5,2 miliar setelah Bran Service Manager, Jaya Diningrat, melakukan audit bersama timnya. Dari hasil audit tersebut, ditemukan 18 transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh terdakwa.

Dalam dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Palembang, terdakwa Weni Aryanti dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang yang sama.

Terdakwa diduga telah melakukan 18 transaksi penyetoran uang tunai tanpa disertai fisik uang ke 16 rekening tujuan, yang bertentangan dengan ketentuan hukum. Kasus ini menjadi sorotan publik karena jumlah kerugian negara yang fantastis dan modus operandi yang terbilang rapi.(Nan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *