SIAPA LAGI YANG MAU MENGAKU SEBAGAI PEMBELA WONG CILIK?

SIAPA LAGI YANG MAU MENGAKU SEBAGAI PEMBELA WONG CILIK?

OLEH: ALDI GULTOM

Pengusuran warga Pasar Ikan, Jakarta Utara, yang terjadi hari ini sudah seharusnya kembali mengguncang hati nurani setiap manusia yang masih berakal budi.

Penggusuran demi penggusuran yang diselundupkan dalam kata “penertiban” hanya semakin menambah tumpukan persoalan kemanusiaan yang ada di ibukota negara.

Setiap manusia yang dicabut dari tanah dan tempat tinggal yang sudah didiami hampir seumur hidup mereka pasti akan mengalami kegalauan luar biasa.

Di era Basuki Tjahaja Purnama, kompleksitas dampak penggusuran coba diredam dengan kompensasi tempat tinggal baru yang berbentuk hunian vertikal sebagai indikator makin sempitnya lahan untuk hunian rakyat. Namun apapun dalihnya, penggusuran adalah perampasan dan pelanggaran terhadap perlindungan dasar hak asasi manusia baik menurut UU Indonesia maupun UU yang berlaku internasional.

UUD 1945 tegas melindungi hak atas tempat tinggal dan mengatur tegas mengenai hak itu dalam Pasal 28H ayat 1. Sedangkan resolusi Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB Nomor 77 Tahun 1993 menyebut praktik penggusuran paksa sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak atas tempat tinggal yang layak. Indonesia pun telah meratifikasi Kovensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan UU 11/Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya dan melindungi hak rakyat atas tempat tinggal dalam UU Hak Asasi Manusia.

Pada umumnya, akar masalah penggusuran di Jakarta adalah kekacauan tata pemerintahan. Pemerintah membiarkan tanah-tanah mereka didiami warga hingga menjamurlah bangunan semi permanen sampai permanen.

Tak jarang arus urbanisasi berlangsung begitu dahsyat dimanfaatkan sebagai momentum politik untuk menaikkan popularitas sehingga ketersediaan lahan semakin memasuki tahap kritis. Selama hidup di lahan pemerintah, pajak tetap dipunguti seperti biasa. Namun, ketika rezim berganti, perubahan kebijakan berganti, alat-alat berat menggusur tak pandang bulu.

Meski korban menerima relokasi ataupun ganti rugi, dapat dipastikan itu tidak sesuai dengan nilai kerugian yang benar-benar dialami oleh korban.

Menurut Human Right Watch, kerugian finansial bukan saja terbatas pada nilai properti yang hilang, tetapi juga mencakup nilai dari bisnis apapun yang mereka miliki di dalam lingkungan yang dihancurkan dan gangguan terhadap sumber penghasilan yang diakibatkan oleh penggusuran tersebut. Karenanya, paket kompensasi yang layak harus
mempertimbangkan tidak hanya kerugian atas tanah, bangunan, dan harta benda pribadi, tetapi juga gangguan terhadap penghasilan seorang individu

Selain itu, adaptasi manusia terhadap lingkungan baru setelah melekat begitu lama dalam satu lingkungan lama yang sudah menjadi bagian dari identitasnya bukanlah hal enteng.

Pendeknya pertimbangan kemanusiaan-lah yang melahirkan penggusuran di sepanjang periode Januari-Agustus 2015 saja di DKI Jakarta berjumlah sebanyak 30 kasus dengan jumlah 3433 Kepala Keluarga dan 433 unit usaha terdampak berdasarkan data LBH Jakarta. Dan terlihat jelas bahwa sampai hari ini, penggusuran seakan sudah menjadi tren jalan pintas untuk kepentingan normalisasi, pembangunan fasilitas sosial dan umum, serta masuknya kepentingan pemodal untuk proyek tertentu.

Melihat begitu luasnya dampak merusak dari kebijakan penggusuran, sungguh aneh jika barisan elite politik yang bertanggung jawab kepada Tuhan dan konstitusi untuk melindungi rakyat, dan di masa kampanye begitu luar biasa meneriakkan slogan cinta rakyat, kini diam menyaksikan rentetan penggusuran terjadi di pusat pemerintahan negara.

Meski semua partai politik menjadikan slogan pro rakyat sebagai “kecap” dagangan mereka, tetapi kalau mendengar istilah rakyat kecil atau wong cilik tentu pikiran kita akan terarah pada PDI Perjuangan yang mengindetifikasikan dirinya bercitra partai wong cilik.

Bisa-bisanya, partai banteng gemuk yang pada pemilihan kepala daerah tahun 2012 berkontribusi pada kemenangan Gubernur berkuasa sekarang, seolah tidak merasa ikut bertanggung jawab atas nasib ribuan orang miskin korban penggusuran DKI Jakarta. Bisa-bisanya parpol peraih kursi terbanyak di DPRD DKI Jakarta (28 kursi) itu cuek bebek ketika ribuan “wong cilik” digusur tanpa ganti rugi memadai.

Kondisi PDIP yang “mengenaskan” itu mengalihkan ingatan kita ke sosok politikus Boy Sadikin, yang pada Februari lalu mundur dari jabatan Ketua DPD PDIP Jakarta.

Dalam beberapa kesempatan dengan wartawan, Boy tidak jelas menyebutkan alasannya mundur. Namun, sangat jelas tanda-tanda bahwa anak tokoh legendaris Ali Sadikin itu kecewa pada partai yang tak lagi memegang sumpah ideologisnya membela kepentingan “wong cilik”.

Yang tidak dapat disangkal adalah sebuah tragedi, ketika sebuah partai yang sebetulnya dibesarkan kalangan “wong cilik”, menjadikan basis sosial “wong cilik” sebagai modal terbesar berdirinya partai, sama sekali tidak menunjukkan sikap terang benderang ketika penggusuran atas nama pembangunan terjadi di hadapannya. Siapa lagi yang mau mengaku sebagai pembela “wong cilik”? (RMOL)

warga-berdoa-jelang-pembongkaran-pasar-ikan_20160411_180457warga-berdoa-jelang-pembongkaran-pasar-ikan_20160411_175116polisi-wanita-polwan-dan-satpol-pp-wanita-dalam pengusuransejumlah-warga-yang-mayoritas-ibu-ibu-rumah-tangga_20160411_120901

About ZP NHO

Selalu Siap dalam bentuk apapun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

loading...




Komentar Terbaru

    x

    Berita Lain

    Dugaan Pria Beristri Gauli Seorang Pelajar, Kini Resmi Dilaporkan Ke Mapolres Muaro Jambi

    Jambi, newshanter.com – Dengan kegigihan, kesabaran dan jerih paya yang dilakukan salah satu Ketua ...