Iswadi/ foto IST

Meneguhkan Keindonesiaan oleh Iswadi

Meneguhkan Keindonesiaan

Oleh : Iswadi

Salah satu upaya merawat cita-cita kebangsaan adalah dengan meneguhkan Indonesia sebagai rumah bersama. Rumah tersebut adalah tempat berteduh jutaan ummat manusia yang berasal dari latar suku, agama, budaya, maupun etnis yang berbeda. Dengan ragam latar belakang seperti itu, tiada lain bahwa jangkar pondasi yang menguatkan adalah Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika-nya. Upaya kolektif peneguhan ini harus terus menerus dilakukan oleh bangsa ini mengingat ancaman erosi setiap saat bisa mengikis kekokohannya.

Kikisan tersebut dapat terlihat dari kejadian beberapa bulan terakhir, seperti masifnya kekerasan yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), mudahnya masuk pemikiran-pemikiran yang negatif dari dunia sekuler-liberal, maupun berbagai dilema hidup dalam hal perekonomian.

Kehendak untuk melihat Indonesia sebagai bukan negara pancasila ini semakin terasa kuat seiring dengan adanya kelonggaran dari ketidaktegasan negara dalam mengambil sikap untuk menegakkan pancasila yang sesungguhnya. Dengan kata lain, kehadiran negara sebagai pengayom dari seluruh warganya tidak dirasakan karena terbukti ada kelompok-kelompok liberal yang menghendaki agar pancasila luntur sebagai acuan dari segala acuan bangsa Indonesia. Ancaman tumbuh sumbur dengan berbagai varian ekspresi yang mengatasnamakan Kebebasan, HAM, dan Demokrasi yang menjadi senjata utamanya.

Kehadiran kelompok ini seperti mengabaikan janji bersama untuk hidup dalam ikatan suci yang bernama Pancasila, yang selalu mengedepankan nilai-nilai dari kelima sila dan menjadi ciri khas serta identitas bangsa Indonesia dari dulu hingga kini.

Artinya, ketidakhadiran negara sama seperti membuka ruang akses kepada siapa saja untuk melukai sesama anak bangsa atas nama Hak untuk berpendapat. Padahal mengacu pada panji kebangsaan yang memuat cita-cita suci kemerdekaan dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa kemerdekaan dimaksudkan, “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Cita-cita bangsa tersebut sebelumnya juga ditegaskan oleh Ir. Soekarno. Dalam Pidato pada forum BPUPKI, 1 Juni 1945. Soekarno mengatakan, “Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”.

Bangunan ke-Indonesiaan seperti itu hanya bisa mewujud manakala ditopang oleh sebuah fundamen kokoh: Pancasila. Dalam buku Negara Paripurna karangan Yudi Latif (2011), Soekarno memberi uraian, “Kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, dan jikalau kita mencari suatu leitstar (bintang pemimpin) dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri.” Jiwa itu yang disebut Ir. Soekarno sebagai Pancasila.

Dengan beragam latar suku bangsa dan agama, Pancasila semestinya dijadikan sebagai pengayom perbedaan. Namun kenyataannya, Pancasila dan hukum positif yang berlaku mulai terpinggirkan. Pluralitas tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan dihormati, melainkan dipandang sebagai entitas yang mengancam. Hal ini bisa dilihat dari masih adanya kelompok masyarakat yang belum bersedia menerima perbedaan sebagai kodrat ke-Indonesiaan. Bahkan dengan beragam alasan dan pembenaran menghendaki perbedaan tersebut dihilangkan.

Tidak Tegas

Perlahan, nilai-nilai luhur seperti solidaritas sosial, gotong royong, dan toleransi antar sesama yang terkandung dalam Pancasila mulai luntur. Sebagai gantinya, benih-benih fundamentalisme, liberalisme, dan komunisme kian tumbuh. Ironisnya, pemerintah terlihat tidak serius menangani masalah tersebut. Pemerintah gagal menciptakan rasa aman dan melindungi hak yang paling privat dan belum berhasil memberi proteksi terhadap semua golongan. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya kelompok tertentu yang menjadi semacam “ancaman serius” bagi kelompok lain.

Konstitusi kita menjamin memberi ruang kebebasan bagi setiap warga negara untuk menentukan hak-hak dasarnya selagi tidak melanggar regulasi konstitusi. Dengan demikian ada kewajiban negara untuk melindungi warganya dari ancaman terhadap upaya penyimpangan kebebasan asasi tersebut. Maka ketika muncul kelompok yang menyimpang dari Undang Undang Dasar negara dengan versi paham yang juga dianggap menyimpang, maka negara tidak boleh memberi ruang sedikitpun bagi munculnya paham-paham yang tidak sejalan dengan Pancasila. Kekerasan dengan latar memerangi Pancasila dewasa ini sudah terpampang jelas didepan mata kita, misalnya berkembangnya paham-paham yang berbau Komunis, Liberalis, dan Kapitalis semakin mengganggu proses kedewasaan Pancasila.

Ketika antisipasi luput dilakukan negara, maka butir-butir konstitusi menjadi tumpul. Ia hanya berbunyi dalam ruang pajang lembaran negara tetapi bisu dalam implementasi. Konstitusi tidak lagi dihormati sebagai penjaga legalitas nasional karena sudah tidak menampakkan kewibawaannya. Konstitusi tenggelam dalam pekik mencederai Pancasila yang jauh lebih nyaring suaranya, dan yang semestinya Pancasila ditempatkan dalam pucuk kepentingan bersama.

Sementara yang dibutuhkan dari kepemimpinan saat ini adalah penegasan untuk berani berorientasi jangka panjang dengan salah satunya merawat bangunan pluralitas. Mengapa penegasan dari pemimpin bangsa diperlukan? Pemimpin bangsa adalah seseorang yang diberi amanah konstitusi. Dengan genggaman amanah itu pemimpin diharuskan memberi pengharapan, dalam konteks ini menjawab cita-cita kemerdekaan, yakni membebaskan dari segala kegundahan untuk bisa hidup sebagai bangsa Indonesia tanpa pembedaan status minoritas maupun mayoritas.

Sikap pemerintah sejatinya akan dilihat sebagai pantulan dari seberapa jauh mandat konstitusi dijalankan. Jika terhadap persoalan-persoalan yang mengancam ke-Indonesiaan pemerintah tidak mengambil langkah sesuai konstitusi, maka kewibawaan negara akan jatuh. Negara dianggap tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk meredam segala potensi kekerasan yang mengancam kehidupan kebangsaan. Negara dalam wujudnya memang masih berdiri tetapi ia sesungguhnya tidak memiliki nyawa untuk mengayomi.(*)
Iswadi ialah seorang penulis kelahiran Palu, Ogan Ilir 02 Januari 1997. Saat ini sedang menempuh studi pada Jurusan Sosiologi, FISIP Universitas Sriwijaya. Aktif menulis artikel-artikel yang berbau Sosial-Politik di beberapa media lokal Sumatera Selatan dan Nasional.

About ZP NHO

Selalu Siap dalam bentuk apapun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

loading...




Komentar Terbaru

    Pos-pos Terbaru

    x

    Berita Lain

    *Polsek Senapelan Gelar Acara Buka Bersama Dan Berikan Santunan Kepada Anak Yatim Di Wilayah Kerjanya*

    PEKANBARU,newshanter.com _ Keluarga besar Polsek Senapelan melaksanakan acara buka puasa bersama dengan anggota dan ...